Sebagian warga di wilayah Lio Santa, Kecamatan Baros, Kota Sukabumi, Jawa Barat, mengaku khawatir dengan kembalinya mantan pelaku pencabulan anak, Andri Sobari alias Emon, usai mendekam di penjara selama sembilan tahun.
Mereka takut dia akan mengulangi perbuatannya di masa mendatang.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memahami kegusaran tersebut, namun lembaga ini minta agar masyarakat tetap memantau anak-anak mereka.
Meskipun menurut tenaga psikolog di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Sukabumi, “peluang dia kembali melakukan pencabulan kecil lantaran sudah ada perubahan perilaku”.
Adapun Balai Pemasyarakatan (Bapas) mengharuskan Andri wajib lapor selama lima tahun ke depan.
Andri Sobari alias Emon, mantan pelaku pencabulan terhadap setidaknya 120 anak di Kota Sukabumi, Jawa Barat, pada 2014 silam, telah dinyatakan bebas bersyarat dari Lapas Kelas I Cirebon pada 27 Februari lalu.
Karena status bebas bersyarat, Andri harus menjalani wajib lapor ke Lapas Nyomplong Sukabumi tiap dua pekan sekali sampai tahun 2028.
Pasalnya dia masih dalam pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Kejaksaan.
Di wilayah Lio Santa, Kecamatan Baros, Andri kini tinggal bersama ibu, adik, dan keponakannya.
Akan tetapi bebasnya pria 33 tahun tersebut membuat sejumlah warga di sekitar tempat tinggalnya cemas, kata Indah, yang sudah sepuluh tahun tinggal di sana dan tahu betul peristiwa menghebohkan itu.
Ia bercerita, ada perasaan was-was kalau melihat Andri ke warung atau masjid.
“Baru kelihatan keluar rumah sekarang-sekarang. Agak kaget, saya punya anak laki-laki kelas 5 SD dan masih usia lima tahun. Agak khawatir sedikit tapi kelihatannya dia sudah berubah,” ujar Indah kepada wartawan Siti Fatimah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (23/03).
Perubahan yang terlihat, sambung Indah, Andri sudah bisa bersosialisasi dengan warga, shalat berjamaah bahkan adzan di masjid.
“Kelihatannya baik, suka ke masjid, ngobrol sama bapak-bapak.”
Kendati demikian, ibu dua anak ini bakal tetap meningkatkan kewaspadaan. Beberapa kali, katanya, dia mengingatkan agar anaknya berhati-hati pada orang yang tak dikenal.
“Kalau ada yang tidak kenal jangan ikut, larangan. Diawasi terus, takut, khawatir sih tapi sedikit. Saya serahkan ke pemerintah, asal jangan diulang, masa depan anak-anak, kasihan,” imbuhnya.
Warga lainnya, Parid, mengatakan mendukung agar Andri kembali ke masyarakat. Sebab menurut dia, setiap manusia punya “kesempatan kedua”.
Meskipun, suara penolakan pelaku tidak kembali sangat kencang saat kasus ini mencuat pada 2014 silam, ungkapnya.
Beruntung, lanjutnya, pemerintah daerah berhasil memediasi warga yang menolak.
“Sekarang warga juga sudah biasa saja. Dulu memang sempat [nolak] waktu masalahnya muncul, tapi kalau sekarang sudah biasa sosialisasi. Salat ke masjid dia itu, jago pijit katanya, jadi ya sudah biasa hanya memang jangan sampai ada lagi kejadian kayak gitu,” ujar Parid.
Ketua RW setempat, Usman, mengaku tahu soal kebebasan Andri dari penjara dari pihak kelurahan dan dinas sosial. Usai musyawarah, warga menyatakan menerima Andri pulang.
Untuk mencegah kejadian berulang, dia mengimbau warganya meningkatkan kewaspadaan pada anak-anak.
Tenaga psikolog di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Sukabumi, Dikdik Hardy, mengatakan telah melakukan pemeriksaan psikologi terhadap Andri Sobari alias Emon sepekan setelah bebas.
Hasil pemeriksaannya menyimpulkan, peluang Andri mengulangi perbuatannya kecil, karena sudah ada perubahan perilaku terkait kontrol hasrat seksual.
Sebab, menurut analisanya, kasus Andri bukan tergolong pedofilia.
“Pemicu dia melakukan itu bukan hasrat seksualnya yang besar. Tapi fungsi kontrolnya yang lemah dan itu berulang karena dia bisa,” jelas Dikdik kepada BBC News Indonesia, Kamis (23/03).
Dan karena cara yang digunakan dengan halus atau bujuk rayu, potensi untuk berubah lebih terbuka, ketimbang pelaku yang melakukan aksinya melalui kekerasan.
“Berbeda dengan pelaku yang melakukan perbuatan dengan cara kekerasan, kemungkinannya 10-15% pelaku akan melakukan perilaku yang sama,” sambungnya.
Dikdik juga menjelaskan, beberapa faktor yang membuat fungsi kontrolnya terjaga adalah “perlakuan khusus” oleh para narapidana di dalam penjara.
Untuk diketahui, kejahatan seksual dalam hirarki kriminalitas termasuk yang paling “menjijikkan” sehingga kerap mendapat perlakuan buruk dari napi lain.
Kata dia, pengalaman itu menjadi “syok terapi” bagi Andri untuk berubah dengan semakin sering belajar agama ke masjid.
“Masjid menjadi simbol kontrol secara sugesti,” tandasnya.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, mengatakan sikap kehati-hatian warga adalah yang terpenting sebagai upaya pencegahan, selain pemantauan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Sebab menurut Jasra, potensi kasus berulang tetap ada lantaran proses rehabilitasi di dalam penjara kerap tidak tuntas, apalagi didukung dengan lingkungan yang longgar dan abai.
Rehabilitasi yang dimaksud yakni secara psikologi dan agama. Mengingat, klaimnya, sumber daya manusia di penjara tidak seimbang dengan jumlah tahanan yang membludak.
“Kalau rehabilitasnya tuntas, potensi berulang cukup kecil,” ujarnya.
Itu mengapa dia menilai informasi kepulangan para mantan narapidana kejahatan seksual sebaiknya disampaikan secara luas ke masyarakat agar bisa lebih waspada.
“Kalau masyarakat terinformasikan dan lingkungan makin kuat melindungi anak, bisa diawasi gerak-gerik eks napi itu.”
Hanya saja, tenaga psikolog di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Sukabumi, Dikdik Hardy, menyebut pengawasan dari lingkungan sekitar dan keluarga saja tidak cukup.
Anak-anak, katanya, juga harus dipersiapkan untuk waspada dan menjaga diri.
“Padahal mungkin ada calon pelaku selain Andri, tapi tidak diwaspadai warga. Karena kita lupa mempersiapkan anak menjaga diri. Fokusnya ke Andri saja,” jelasnya.
Cara mengajarkan anak-anak untuk waspada yakni lewat pelajaran underwear rules. Bahwa, anak-anak jangan mau dipegang bagian-bagian tertentu di tubuhnya seperti mulut, dada, alat genital, dan pantat.
Solihat, ibu Andri Sobirin, mengatakan hampir satu bulan anaknya kembali warga sudah bisa menerima. Anaknya pun sering menjalankan shalat berjamaah di masjid.
“[Sekarang kegiatannya] bantu-bantu kerja turun naikin pisang buat dijual ke pasar. Ya mudah-mudahan dapat kerjaan yang tetap, kan lagi dicarikan [pekerjaan] sama kelurahan,” ujar Solihat seperti dilansir Detik.com.
Ia bercerita, selama di lapas sang anak disebut berkelakuan baik dan ditugaskan mengurus perpustakaan lapas.
“Iya berkelakuan baik, pas saya jemput di [lapas] Cirebon juga petugasnya nangis karena di sana dia kan ya sudah membantu jadi pengurus perpustakaan, mungkin kehilangan. Di kamarnya juga jadi imam [pemimpin kamar],” ujarnya.
Petugas Pembimbing Pemasyarakatan Bapas Kelas I Bandung, Isep Saiful Millah, mengatakan Andri bebas bersyarat lantaran telah berkelakuan baik selama dalam penjara.
Aturan mengenai bebas bersyarat tertuang dalam Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 di pasal 2 yang menyatakan, pemberian pembebasan bersyarat harus mempertimbangkan kepentingan pembinaan, keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.
“Jadi Andri Sobari ini sekarang menjalani masa bimbingan. Anak itu sudah baik perilakunya berarti kan dia harus mendapatkan hak remisi atau bebas bersyarat,” kata Isep.
“Kalau remisi kan hukuman yang lama itu maksimal dapat remisi tiap tahun hanya 6 bulan, selanjutnya setelah mendapatkan remisi, maka mendapatkan SK pembebasan bersyarat namun tetap dia masih dalam pengawasan.”
Dia juga menjelaskan, narapidana yang bebas bersyarat memiliki kewajiban untuk mengikuti masa percobaan dan pembinaan oleh Balai Pemasyarakatan. Selama bebas, dia wajib lapor selama lima tahun atau hingga 2028 mendatang.
“Untuk saat ini saya minta wajib lapor dua minggu sekali. Jika bebas murni masa percobaan satu tahun,” tegasnya.
Selain harus wajib lapor, dia juga terancam masuk kembali ke dalam penjara. Isep menjelaskan ada beberapa faktor yang dapat membatalkan SK pembebasan bersyarat bagi mantan narapidana.
“Yang membatalkan ketika dia meresahkan masyarakat ataupun melakukan pelanggaran hukum lagi, tidak melaksanakan wajib lapor sesuai ketentuan maka dia bisa dicabut pembebasan bersyaratnya,” ucap dia.
Terkait masa tahanannya, Isep mengatakan ketika SK dicabut maka dia akan menjalani sisa pidana yang belum diselesaikan. Berdasarkan putusan PN Sukabumi, Andri Sobari divonis selama 17 tahun penjara.
“Ketika dicabut, dia menjalani lagi sisa pidana yang belum tuntas.”
Selama di bawah pembinaan Balai Pemasyarakatan Kelas I Bandung, Andri akan menjalani rangkaian pemeriksaan mulai dari psikologi, psikotes, dan keterampilan lainnya.
Setelah sebulan bebas, menurut Isep, ada beberapa perubahan yang terjadi padanya.
“Dia sudah enggak mau dibilang Emon, katanya pengen dipanggil Andri saja karena kemarin juga dapat laporan dari Lapas Kelas I Cirebon dia itu aktif di perpustakaan lapas sebagai pengurusnya dan di dalam kamarnya sebagai imam salat,” sambung Isep.
Sebelum bebas, Andri Sobari juga menjalani pemeriksaan psikolog. Hasilnya disebut sudah tak memiliki ketertarikan kepada anak atau sesama jenis.
“Ketertarikan ke sesama jenis itu sudah di titik aman, cuma kita kan enggak tahu ke depannya seperti apa. Semua orang harus tetap antisipasi.
“Hal tersebut bisa terjadi pada siapa saja makanya kita lakukan konseling lanjutan untuk menghindari itu, khawatirnya tersugesti lagi dan yang paling utama kontrol dari keluarga serta masyarakat,” tutupnya.
cr:kumparan